
Foto: GettyImages/Monty Rakusen
Pelamar wanita lebih diutamakan pada beberapa lowongan kerja di bidang penelitian. Simak ulasan Gastblogger Dimas berikut ini.
Foto:GettyImages/Monty Rakusen
Meski Jerman sudah menjadi negara maju, isu mengenai kesetaraan sosial antara pria dan wanita masih menyisakan pekerjaan rumah di beberapa titik, termasuk dunia pekerjaan. Saya banyak menjumpai pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pria, sudah banyak dilakukan oleh wanita, seperti supir bus, masinis kereta, sampai
bodyguard petugas keamanan fasilitas umum. Faktanya, potret ini dinilai belum cukup, karena kesetaraan sosial di dunia kerja bukan hanya dilihat dari terbukanya kesempatan wanita untuk bekerja, tapi juga kesetaraan dalam hal peluang, serta gaji yang didapat.
Selepas merampungkan pendidikan di universitas, saya kerap mengumpulkan berbagai jenis lowongan yang berhubungan dengan riset. Ada satu hal menarik yang selalu saya temukan dalam setiap lowongan, yakni sebuah pernyataan mengenai 'wanita akan diprioritaskan daripada pria apabila keduanya memiliki kualifikasi yang sama'. Sekilas memang terlihat diskriminatif untuk pelamar pria, namun ternyata hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Di Jerman, jumlah wanita yang bekerja pada bidang riset masih jauh lebih sedikit ketimbang pria. Begitu juga jumlah profesor wanita pada hampir seluruh perguruan tinggi.
Foto: Panthermedia/ Darren Baker
Kurang atraktifnya wanita di dunia kerja dikarenakan adanya semacam rahasia umum yang berkembang. Kekhawatiran
Arbeitsgeber (pemberi kerja) adalah jika seorang pegawai wanitanya tiba-tiba mengandung di tengah kesibukannya bekerja. Mengandung dapat membawa konsekuensi pada terputusnya aktivitas bekerja, terutama selama masa persalinan dan membesarkan anak.
Di Jerman, para orangtua memiliki hak untuk mengambil cuti panjang untuk orangtua
(Elternzeit), khususnya saat melahirkan, sekaligus membesarkan anaknya. Selama masa ini, para orangtua tetap mendapatkan gaji dari pemerintah sebesar 75% dari gaji yang biasanya mereka dapatkan. Sementara itu, mereka tidak perlu memberhentikan kontrak kerja, serta boleh kembali lagi ke pekerjaan setelah masa cuti panjang berakhir. Kebijakan itu tidak hanya diberikan kepada wanita (
Mutterzeit: cuti untuk ibu) tetapi juga para pria (
Vaterzeit: cuti untuk ayah), karena hak dan kewajiban mengasuh anak setara antara keduanya, selain untuk meminimalisir anggapan bahwa hanya wanita yang dapat sewaktu-waktu mengambil cuti panjang, demi mengasuh anaknya.
Ditambah lagi, di internet saya juga menemukan informasi bahwa 22% wanita mendapatkan gaji yang lebih rendah dari pria, bahkan dalam kualifikasi yang sama. Bisa jadi lebih dikarenakan ada posisi-posisi pekerjaan yang memang hanya bisa dikerjakan oleh pria ataupun sebaliknya. Meski demikian, di lingkungan kerja sebenarnya tidak ada diskriminasi antara pria dan wanita. Seperti di tempat saya bekerja. Pimpinan lab saya adalah seorang wanita, yang juga seorang dokter berstatus profesor. Alhasil, walau Jerman memiliki seorang kanselir wanita, tema kesetaraan antara pria dan wanita di dunia kerja masih terus berkembang.
-Dimas Abdirama-